Is this drama really necessary? -unknown
Tunjukkan
aku satu atau dua hal, agar aku dapat menyukai semua hari besar. Jelaskan
padaku bagian mana darinya yang buat hati bergetar. Darimana kehadirannya dapat
perbaiki simpul tali yang melar? Karena yang kulihat hanya senyum dan tingkah
berkelakar. Tawa yang sengaja dibesarkan hingga mulut memar. Segala hal kecil
yang sengaja dibuat besar, supaya kelihatan enak dan manis bila dipandang dari
luar.
Dari dulu, aku tidak pernah keberatan untuk
hanya sekedar melakukan kebiasaan. Orang tuaku merupakan salah satu umat,
katanya yang selalu memegang tampuk kekuasaan. Mereka adalah mayoritas negara
yang selalu berkeliaran, mulai dari tempat paling privasi sampai ke ruas jalan.
Dengan muka dan latar belakang yang kentara akan perbedaan, mereka bersatu di
bawah satu keyakinan tentang junjungan. Pada sebuah unsur sosial bernama
keagamaan. Mereka terima saja perihal tanpa tanya seusai kelahiran.
Hari-hari menjelang hari besar adalah
hari tersibuk di dunia. Merambah dari dan bagi segala aspek kemasyarakatan.
Semua orang menjadi pemerhati lingkungan sekitar musiman. Para pedagang sibuk
menipu dengan promosi, agar maksimal keuntungannya. Para pembeli membabi buta
menjarah, biar penuh keranjang belanjaannya, sehingga, walau tunjangan diberi
untuk tiap kepala keluarga dan pekerja, tetap saja ia menguap cepat layak
udara.
Akulah
salah satu pengamat kecil, di tengah-tengah megahnya tatanan bermasyarakat. Aku
pun salah sekian peneliti dibalik kentalnya lingkaran tradisi. Keluargaku
adalah salah satu objek terdekat, sengaja digariskan Tuhan agar aku senantiasa
merapat. Keluargaku adalah Ayah yang selalu berangkat dengan dahi terlipat,
serta Ibu yang berusaha meniti karir agar tidak menjadi asisten pribadi kami
secara bergilir.
Tiap
tahun, Ibu membawaku ke pusat perbelanjaan elit, guna persiapan hari besar.
Mengajakku berkeliling membawa harga diri yang sudah dijinjit. Sumringah
senyumannya terpancar kuat, memyungging sempurna sengaja agar dilihat. Mungkin
jika diperhatikan dengan cermat, rahang kerasnya sudah ikut terangkat,
meliukkan ego seorang istri dari keluarga bermartabat.
Di
kisi-kisi tempat perbelanjaan, Ibu berjalan percaya diri, hasil tabungannya
selama bekerja mandiri. Tangannya menunjuk sasaran produk dengan teliti, karena
bagaimanapun, pemakaian prinsip ekonomi harus selalu lestari. Dia bilang bahwa
ini adalah bentuk dari persiapan penyambutan hari raya. Walau aku tak habis pikir
dan kerap memungkiri, apa sih guna barang-barang ini? Sebegitunyakah sampai ada
yang rela menusukkan belati? Kurasa Yang Maha Tahu juga mengerti arti dari ini.
Para makhluk-Nya yang sedang berebut simpati, simpati remeh temeh benda mati.
Semua yang dibeli Ibu merupakan remeh temeh
rumah tangga, sama sekali bukan krusial dan tidak menunjang juga. Tapi, seperti
ribuan atau bahkan jutaan ibu di negeri ini, semua seperti sedang lomba lari.
Antar tetangga tak mau kalah, antar sepupu enggan dibilang payah. Kalau aku
bertanya lugas tentang apa guna semua ini menjelang hari raya yang siap
menetas, ibu akan menjawab dengan tegas, ˮDira, kau perhatikanlah semua ini.
Camkan semua langkah yang kita lakukan ini. Adat yang kaya ini tentu tidak
mungkin dilakukan seadanya. Ini dan itu adalah bentuk kewajiban yamg nyata.
Sudah bagaikan perintah dari surat tugas sebenarnyaˮ. Aku pun akhirnya hanya bisa
mengalah, membiarkan Ibu dengan pemikiran bahwa hidup normal memang seperti
inilah.
Setelah merasa puas menjelajah, menjarah
barang-barang keperluan, Ibu dan aku pulang kembali ke rumah dengan pagar
pembatas. Yaitu sebuah rumah yang dikelilingi hakikat orang atas, membuat
tampilan luar bangunan terlihat beringas. Kemudian, dengan kuasa seorang istri,
Ibu mengatur semua dengan sekali berdiri. Tirai-tirai dan selimut diberi ganti
oleh kain-kain baru yang semerbak kesturi. Juga pernak-pernik kayu jati di
setiap sisi, senantiasa berganti demi mengikuti adaptasi modernisasi. Jangan
lupakan juga bahan sandang yang sudah siap mendendang. Sesungguhnya, Ibu telah
mengantisipasi dari segala aspek dan sisi. Membuat semua sempurna sekaligus
menjadi hampa dan tak berisi.
Ketika hari yang ditunggu serentak oleh seluruh negeri sudah menerbitkan
diri, disitulah meledak proses perlambatan evaluasi diri. Orang tuaku sudah
berdiri dari pagi, mereka pasang senyum yang sekiranya dapat membangkitkan
hati. Tidak peduli lagi, embel-embel itu hanya pemalsuan diri, haus akan
publikasi. Mata ke mata beradu temu tanpa pakai hati. Adegan kehangatan ini malah jadi ironi dan
duri, karena dilakukan atas niat pencitraan diri.
Kalimat andalan mereka sampai detik ini
adalah, ˮDira, sini maaf-maafan di hari suciˮ. Sebuah kalimat yang tak kunjung
memenuhi ekspektasi. Mungkin tadinya diharapkan menjadi manifestasi dari
ketulusan diri, tapi yang terjadi sudah dapat tertebak sendiri. Terkadang,
ungkapan verbal pun sudah jenuh buat membelah diri, sudah lelah dianggap
sebagai juru sakti. Sesekali ia ingin dikenal biasa, malas menjadi kumpulan
frasa dengan inti ganda, menjadi kalimat pemalsuan untuk mencari muka di
hadapan Tuhan.
Biasanya, kami akan sama-sama pergi, ke rumah
peribadatan terelok di kota kebanggaan kami. Pakai kendaraan mewah yang sudah
berkilau dan berseri-seri. Pakai warna pakaian seragam ala lini musim semi. Lucu
saja melihat setiap individu saling berkompetisi, unjuk gigi pada dunia siapa
yang lebih terkini. Ayah dan Ibu akan pura-pura berbaik hati, masuk ke rumah
ibadah dengan pandangan penuh isi. Berhadapan dengan kalangan muda dan paruh
baya, mereka tak jauh beda dengan gemerlap keemasan. Lalu, mereka akan
tersenyum dan bermaafan sembari cipika-cipiki.
Padahal sesudah ini, semua akan kembali berbisik, menggebukan tentang ujung
gamis yang tak sampai mata kaki.
Ibadah pun disegerakan, mengingat panggilan Tuhan
sudah dikumandangkan. Dengan menungging dan sujud beberapa kali, terhapus sudah
semua dosa dalam diri. Tangan-tangan acap kali saling menjamah, antara
permohonan maaf terbias, atau malah menguji keaslian cincin emas. Satu persatu
jamaah akan mengundurkan diri, saling menawari hubungan silaturahmi. Semua akan
kembali pada ruang masing-masing, menyiapkan perhelatan di rumah dengan potong
kambing.
Setelah itu, rumahku pun akan dibuka, secara harfiah. Pintu-pintu dan
jendela ikut terkena dusta euforia. Teras depan, pekarangan dan tanaman untuk
hari ini jadi ceria, mungkin karena hanya di saat inilah, keberadaan mereka
dianggap nyata. Langkah-langkah kaki akan silih berganti, masuk dan pergi.
Mengobrol basa-basi dengan imbalan kaldu dan kuah sapi. Semua tertawa dan
bercanda, melantunkan kegembiraan buatan. Di balik semua kemunafikan ramah
tamah, tersimpan sejuta taktik mencari titik lemah tuan rumah.
Ibu
atau Ayah bergantian memperkenalkanku, sebagai seorang gadis dengan masa kecil,
masa depan dan masa kini yang cerah. Tanggapannya selalu pujian monoton yang
terdengar bloon, sekian remah-remah
pembuat otak jengah. Sayangnya, akulah salah satu pemeran utama drama keluarga.
Hanya lewat senyuman anak baik, semua keadaan dapat berbalik. Orang tua mulai
berbincang dan memperbincangkan hal-hal luar biasa bagi masa tuanya, masa depan
anaknya, maupun masa tersulit nantinya. Dilakukannya agar dikira bijaksana
dalam memutuskan suatu perkara.
Rumahku pada saat ini juga spontan menjadi ajang peragaan amalan. Dihias
berupa-rupa untuk persembahan pada Tuhan. Semua sanak datang dengan pakaian dan
amal kebanggaan. Mereka bercerita ramai tentang hal-hal yang membosankan,
sembari berdengung dan bergumam akan semua kudapan. Menanggapi berlebihan pada
Ibu yang lapar pujian, agar ada balasan receh-receh tunjangan penghabisan. Kandungan
kemunafikan sudah sangat jenuh, hatiku ingin sekali loncat dan melenguh.
Seluruh elemen masyarakat kini bermuka
dua, bertingkah seolah-olah telah tuntas suatu kebajikan. Seumpama Ibu dan
Ayahku yang menjadi lambang keharmonisan, padahal di hari biasa mereka bertemu
empat kali dalam sebulan. Aku disini juga mengandung sejuta dusta, menebar
senyum gelagapan pada semua tingkat lapisan. Parade kebahagiaan yang terlalu
situasional, dimana seluruh tawa dan kata diobral habis-habisan.
Lalu, kalimat yang dapat tervisualisasikan secara murni adalah, ˮTuhan,
terimalah persembahan pakaian kami. Hapuslah dosa kami, karena kami sudah
tunggang langgang ke tempat peribadatan di hari raya. Tuhan Yang Maha Indah,
terimalah persembahan perabotan kami, dan kudapan-kudapan kami. Ringankanlah
hukuman karena kami sudah mengagungkan hari besar, setahun sekaliˮ. Namun, itu
hanya dapat didengar oleh orang yang mau mendengar. Walau indramu terbuka
lebar-lebar, belum tentu semua penjelasan dengan gamblang terjabar. Karena,
sandiwara berkelakar akan terus tumbuh dan berkembang. Seiring dengan
berubahnya pandangan manusia terhadap hal sejati, pergeseran makna tetaplah
diagungkan. Pada akhirnya, pembohongan akbar akan terulang dengan liar.
November 05, 2016
Candisa Azzahra
3 komentar:
Kamu musti ketemu sama guru Bahasa Indonesiaku kayaknya
dont see one perspective in whole of things, i agree about two face but out there much people using"one face".
btw i like your article.
regrads
Thanks for reading. Ya, saya setuju dengan kamu, lagipula cerpen ini memang dibuat untuk melihat dari satu sudut pandang lain, untuk pertimbangan perspektif saja. Come & visit my blog any time.
Posting Komentar